.......LISTEN without HEARING
TALKING without SPEAKING.......

Selasa, 24 Mei 2011

Evolusi Bahasa


Evolusi bahasa lisan, merupakan suatu titik yang menentukan dalam sejarah manusia. Berbekal bahasa, manusia dapat menciptakan berbagai dunia jenis baru di alam, yang salah satunya apa yang kita sebut “budaya”. Bahasa menjadi alat kita dan budaya ruang tempat kita hidup.
Antropolog yakin pada dua masalah berhubungan dengan bahasa: yaitu yang langsung, dan yang tidak langsung. Pertama, bahasa lisan jelas membedakan Homo sapiens dengan semua mahluk lain. Tidak ada mahluk lain selain manusia yang menghasilkan bahasa lisan yang kompleks, sebagai suatu alat komunikasi dan perenungan batin. Kedua, otak Homo sapiens tiga kali sebesar otak kerabat evolusioner kita yang terdekat, kera besar Afrika.
Ironisnya, kendati para filsuf telah memikirkan secara mendalam dunia bahasa, sebagian besar pengetahuan kita tentang bahasa baru muncul dalam tiga dasawarsa terakhir. Sepintas lalu bisa dikatakan, dua pandangan telah muncul mengenai sumber evolusioner bahasa. Yang pertama melihat bahasa sebagai ciri unik manusia, kemampuan yang timbul sebagai akibat sampingan otak kita yang makin membesar. Dalam hal ini, bahasa dianggap baru muncul dalam tempo singkat baru-baru ini, ketika ambang kognitif terlampaui. Sudut pandang yang kedua menegaskan, bahasa lisan berevolusi lewat seleksi alam atas beragam kemampuan kognitif pada leluhur bukan-manusia–termasuk di dalamnya, tapi tidak terbatas pada komunikasi. Dalam apa yang disebut model kesinambungan ini (continuity model), bahasa berevolusi dengan lambat laun dalam prasejarah manusia, sejak munculnya genus Homo.
Bahasa timul dalam prasejarah manusia–dengan berbagai sarana dan sepanjang sebagian urutan waktu–dan dengan demikian mengubah kita baik sebagai individu-individu maupun spesies. Sebagai individu-individu, keberadaan kita di dunia ini bergantung pada bahasa, dan tak terbayangkan bagaimana kiranya dunia tanpa bahasa. Sebagai salah satu spesies, bahasa mengubah cara kita bergaul satu sama lain melalui penjabaran kebudayaan. Lima ribu bahasa kini masih hidup adalah hasil kemampuan yang sama-sama kita punya, tetapi lima ribu kebudayaan yang diciptakan bahasa terpisah satu sama lain.
Bahasa memberi cara berkomunikasi yang efisien. Itulah mengapa kemampuan ini bermanfaat pada leluhur kita ketika mereka mulai menjalani hidup berburu dan mengumpul yang masih awal, yang merupakan cara sibsisten yang lebih menantang dibandingkan yang dilakukan oleh kera. Ketika cara hidup leluhur kita semakin pelik, kebutuhan akan koordinasi sosial dan ekonomi pun meningkat. Lomunikasi yang efektif kiranya semakin lama semakin berharga dalam keadaan seperti itu. Itulah sebabnya seleksi alam terus menerus meningkatkan kecakapan berbahasa. Akibatnya perbendaharaan pokok bunyi-bunyian monyet purba–mungkin serupa dengan suara engahan, lengkingan, dan geraman kera modern–akan berkembang dan cara mengungkapkannya akan semakin berpola. Bahasa, sebagaimana kita ketahui sekarang, muncul sebgai hasil kebutuhan yang mendesak dalam kehidupan berburu dan mengumpul.
Sejalan denanga berkembangnya pola hidup berburu, mengumpul, manusia menjadi lebih maju secara teknologis, menciptakan perkakas yang lebih halus dan lebih canggih. Transformasi evolusioner ini, yang bermula pada spesies pertama genus Homo sebelum dua juta tahun lalu dan mencapai puncaknya dengan kehadiran manusia modern pada suatu masa dalam 200.000 tahun yang lalu, berbarengan dengan membesarnya otak menjadi tiga kali lipat. Otak membesar dari sekitar 400 cc pada Australopithecus paling purba sekarang menjadi rata-rata 1.350 cc. Telah lama para antropolog menyimpulkan adanya suatu hubungan kausal antara semakin canggihnya teknologi dan membesarnya otak. Kenneth Oakley (1949) merupakan salah satu ilmuan pertama yang mengajukan bahwa timbulnya manusia modern dipicu oleh “perfection” (penyempurnaan) bahasa sampai ketingkat yang kita alami sekarang; dengan kata lain, bahasa modern, menciptakan manusia modern. 
Perkembangan Alat Ujaran
            Penelitian para ahli purbakala menunjukan bahwa kehidupan di dunia dimulai 3.000 juta yahun yang lalu dalam bentuk organisme uniseluler. Tiga ratus lima puluh juta tahun kemudian berkembanglah mahluk semacam ikan, yakni Agnatha, yang tak berahang. Lima puluh juta tahun kemudian muncullah mahluk pemula dari amfibi yang tidak harus selamanya tinggal di air. Mahluk ini mempunyai paru-paru. Adanya paru-paru dan laring ini menunjukan telah mulai tumbuh jalur ujaran meskipun bunyi yang keluar barulah desah nafas saja.
Pada sekitar 70 tahun kemudian munculah mahluk mamalia yang pertama. Pertumbuhan biologis lainnya mulai muncul. Bentuk awal dari epiglotis telah mulai tampak, meskipun letaknya masih sangat dekat dengan mulut dan dibagian atas tenggorokan. Tulang-tulang arytenoid dan cricoid mulai lebih berfungsi. Evolusi lain yang penting adalah mulai adanya tulang thyroid dan bentuk pertama dari selaput suara. Karena telah adanya paru-paru dan kemudian ada pula selaput suara, maka getaran selaput ini dapat mulai dikontrol. Alat pendengaranpun mulai berkembang. Alat ujaran seperti ini membuat mamalia (monyet, kambing, dsb.) dapat mengeluarkan bunyi.
Perkembangan biologis lainnya yang terkait adalah adanya perubahan perkembanagn otot-otot pada muka, tumbuhnya gigi, dan amakin naiknya letak laring yang memungkinkan mahluk untuk bernafas sambil makan dan minum.
Perkembangan terakhir adalah pada primata manusia. Alat-alat penyuara seperti paru-paru, laring, faring, dan mulut pada dasarnya sama dengan yang ada pada mamalia lainnya, hanya saja pada manusia alat-alat ini telah lebih berkembang. Laring pada manusia, misalnya, agak lebih besar daripada laring pada primata lain. Struktur mulut maupun macam lidahnya juga berbeda. 
Menurut Dardjowidjojo (2005), meskipun ada kemiripan-kemiripan tertentu antar manusia dengan simpanse, tetap saja kedua mahluk ini berbeda dan yang membedakan keduanya adalah, antara lain, kemampuan mereka berkomunikasi dengan bahasa. Perbedaan kemampuan ini sifatnya genetik, artinya, manusia dapat berbahasa sedangkan primata lain tidak karena komposisi genetik antara kedua kelompok primata ini berbeda. Hal ini sangat tampak pada struktur biologis alat suaranya.
         Pada primata non-manusia simpanse lidah mempunyai ukuran yang tipis dan panjang tetapi semuanya ada dalam rongga mulut. Bentuk yang seperti ini lebih cocok sebagai alat untuk kebutuhan yang non-vokal seperti meraba, menjilat, dan menelan mangsa. Secara komparatif, ratio lidah dengan ukuran mulut juga sempit sehingga tidak banyak ruang untuk menggerakan lidah ke atas, ke bawah, ke depan, dan ke belakang. Ruang gerak yang sangat terbatas ini tidak memungkinkan binatang untuk memodifikasi arus udara menjadi bunyi yang berbeda-beda dan distingtif.
            Berbeda dengan manusia, laring pada binatang seperti simpanse terletak dekat dengan jalur udara ke hidung sehingga waktu bernafas laring tadi terdorong ke atas dan menutup lubang udara yang ke hidung. Kalau kita perhatikan bentuk dan letak gigi pada primata non-manusia akan kita dapati bahwa gigi binatang merupakan deretan yang terputus-putus, ukuran panjangnya tidak sama, dan letaknya miring ke depan (Dardjowidjojo 2005). Letak seperti ini tidak memungkinkan untuk gigi atas dan gigi bawah bertemu. Bibir pada binatang juga tidak fleksibel sehingga tidak bisa diatur untuk dipertemukan atau dilencengkan untuk menghasilkan bunyi atau suara yang berbeda. 
         Secara proposional rongga mulut manusia adalah kecil. Ukuran ini membuat manusia dapat lebih mudah mengaturnya. Lidah manusia yang secara proposional lebih tebal dari pada lidah binatang dan menjorok sedikit ke tenggorokan memungkinkan untuk digerakkan secara fleksibel sehingga bisa dinaikkan, diturunkan, dimajukan, dimundurkan, atau diratakan di tengah. Posis yang bermacam-macam ini menghasilakn bunyi vokal yang bermacam-macam pula, dari yang paling tinggi /i/ sampai ke yang paling belakang tinggi /u/, dan dari yang paling rendah depan /æ/ ke yang paling rendah belakang /a/. Belum lagi kontak antara lidah dengan titk artikulasi tertentu akan menghasilkan pula bunyi konsonan yang berbeda-beda, dari yang paling depan /p/-/b/ sampai ke yang paling belakang /k/-/g/. 
      Epiglotis yang letaknya jauh dari mulut dan velum membuat manusia adapat menghembuskan udara melalui mulut maupun hidung. Velum dapat digerakkan secara terpisah untuk menempel pada dinding tenggorokan sehingga udara akan tercegah keluar melalui hidung–dan terciptalah abunyi oral. Sebaliknya, bila bunyi yang kita kehendaki adalah bunyi nasal, velum ini tidak akan bersentuhan dengan dinding tenggorokan sehingga udara dengan bebas dapat keluar melalui hidung.
         Gigi manusia yang jaraknya rapat, tingginya rata, dan tidak miring ke depan membuat udara yang keluar dari mulut lebih dapat diatur. Begitu pula bibir manusia lebih dapat digerakkan dengan fleksibel.
          Disamping struktur mulut, paru-paru manusia juga dengan mudah menyesuaikan diri dengan kebutuhan. Pernafasan kita pada waktu bicara, waktu diam, dan waktu menyanyi tidaklah sama. Pada waktu bicara, kita menarik nafas yang panjang sehingga paru-paru menjadi besar. Udara ini tidak kita hembuskan keluar sekaligus, tetapi secara bertahap sesuai dengan kebutuhan. Karena itu, kita dapat berbicara berjam-jam, tapi kita tidak bisa berada dalam air lebih lama dari pada lima menit.
           Dengan singkat dapat dikatakan bahwa dari segi biologi alat pernafasan, manusia memang ditakdirkan untuk menjadi primata yang dapat berbicara.